Keistimewaan Ibnu Abbas Sejak Kecil
[KISAH] Keistimewaan Ibnu Abbas Sejak Kecil – Catatanmoeslimah.Com – Dalam kitab Fathul Bārī, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mencatat riwayat tentang Sayyidina Ibnu Abbas. Berikut riwayatnya:
حدثنا عبد الله بن محمد قال نا هاشم بن القاسم نا ورقَاءُ عن عبيد الله بن أبي يزيد عن إبن عباس: أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ دَخَلَ الخَلَاءَ، فَوَضَعْتُ له وَضُوءًا قالَ: مَن وضَعَ هذا؟ فَأُخْبِرَ فَقالَ: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ في الدِّينِ
Artinya, “Abdullah bin Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata: “Hasyim bin Al-Qasim bercerita, Wirqa’ bercerita, dari Ubaidillah bin Abi Yazid, dari Ibnu ‘Abbas: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki kamar mandi (toilet), kemudian aku meletakkan seember air untuknya.” Rasulullah berkata: “Siapa yang meletakkan ini?” Kemudian diberitahukan (bahwa itu adalah Ibnu ‘Abbas). Lalu Rasulullah berkata: “Ya Allah, berilah Ibnu Abbas kepahaman dalam agama.” (Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bārī bi Syarhi Shahīhil Bukhārī, [Beirut, Darur Rayyan lit Turats: 1986], juz I, halaman 294).
Terkadang kecerdasan seseorang bisa dilihat dari tingkah lakunya. Tidak hanya dari struktur kalimat yang kaya akan bahasa akademis. Hal itu dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Sebagai anak kecil, dia sudah bisa memahami kebutuhan orang lain tanpa instruksi atau perintah.
Dia baru saja melakukannya. Ia sangat paham, bahwa seseorang yang masuk kamar mandi pasti membutuhkan air. Karena itu, ketika Nabi keluar dari kamar mandi, dia bertanya: “Siapa yang menaruh seember air di sini?” Lalu dijawab, “Ibn Abbas.”
Peristiwa ini terjadi di rumah Sayyidah Maimunah binti Al-Harits, istri Nabi dan bibi dari pihak ibu Ibnu Abbas. Sayyidah Maimunah adalah saudara perempuan Lubabah binti Al-Harits (ibu dari Abdullah bin Abbas). (Al-Hakim An-Naisaburi, Al-Mustadrak ‘alā Shahihain, [Beirut: Darul Ma’rifah], bab III, halaman 534).
Ada banyak riwayat dan berbagai tajuk rencana tentang kisah di atas, khususnya pada bagian doa Nabi untuk Ibnu Abbas, “Allahumma ‘allimhul hikmah”, “‘alimhul kitāb”, dan versi yang lebih lengkap adalah riwayat Ahmad bin Hanbal, “Allahumma faqihhu fiddīn wa ‘allimhut ta’wīl” (Ya Allah, berilah Ibnu Abbas pengertian dalam agama dan ilmu dalam takwil).
Untuk lebih dalam, mari kita coba menguraikan kisah di atas, namun terlebih dahulu kita perlu mengetahui usia Ibnu Abbas ketika Nabi wafat. Satu sejarah mengatakan dia berusia 10 tahun saat itu. Ibnu Abbas berkata:
مات رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا ابن عشر سنين وأنا مختون
Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat (saat) usiaku sepuluh tahun, dan aku sudah disunat.” (HR Ahmad).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia berusia 15 tahun. Namun yang jelas, Ibnu Abbas bergaul dengan Nabi saat masih kecil. Artinya, kisah di atas terjadi ketika Ibnu Abbas masih kecil.
Bisa dikatakan, secara sederhana Ibnu Abbas muda memiliki kepekaan intelektual yang juga praktis. Ia peka bahwa siapa saja yang masuk kamar mandi pasti membutuhkan air, apalagi pada masa itu pengairan masih dilakukan secara manual dan tradisional.
Bayangkan saja, anak sekecil itu sudah memiliki kepekaan intelektual dan praktis yang baik. Itulah yang membuatnya luar biasa dan mendapat doa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kepekaannya diaktualisasikan dengan “melakukan”, bukan hanya terpaku pada ruang teoretis. Karena banyak dari kita, meski sudah tahu dan sadar bahwa sesuatu itu baik, namun masih enggan untuk melakukannya. Berbeda dengan Ibnu Abbas yang kecil.
Hal ini menunjukkan kecerdasan perilaku dan pemikiran yang membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam takjub, bahwa anak ini di usianya yang masih belia telah mencapai kepekaan yang luar biasa, berinisiatif berbuat baik dan memahami situasi, kondisi dan kebutuhan orang lain. Artinya, Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas telah memahami sesuatu tanpa tuntunan.
Dia dapat menafsirkan suatu situasi dengan baik, dan bertindak sesuai dengan penafsiran yang baik itu. Untuk mencapai kepekaan atau memahami sesuatu tanpa instruksi, tidak banyak orang yang bisa atau bisa dikatakan enggan melakukannya karena tidak pernah merenungkan dan memikirkannya.
Contoh lain kecerdasan atau kepekaan Ibnu Abbas muda terjadi ketika ia shalat malam bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia berada di belakang, kemudian Rasulullah diposisikan sejajar dengannya. Setelah selesai shalat, Ibnu Abbas kecil bertanya kepada Nabi:
وينبغي لأحد أن يصلي خذاءك وأنت رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي أعطاك الله؟ فدعا الله أن يزيدني فهما وعلما
Artinya, “(Apakah) pantas seseorang shalat sejajar denganmu, padahal engkau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang dikaruniai Allah?” (Mendengar itu), kemudian Rasulullah berdoa kepada Allah agar menambahkan pemahaman dan ilmu untukku.” (Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Hilyatul Auliyā’ wa Thabaqātul Ashfiyā’, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 316).
Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas kecil memiliki kesadaran moral dan kecerdasan yang luar biasa. Ia telah memikirkan tentang adab, adab dan etika yang paling tepat ketika bersama Nabi. Hal ini tentunya tidak lepas dari keteladanan yang ditunjukkan oleh Nabi, sehingga Ibnu Abbas kecil dapat menyerapnya, memahaminya dan menerapkannya dengan baik.
Setelah didoakan oleh Nabi, Sayyidina Abdullah bin Abbas terus mendampingi Nabi, berbakti dan belajar darinya. Tak heran jika beliau banyak mendapat pelajaran dan doa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menjadi ahli Al-Qur’an yang sangat mumpuni. Ibnu Abbas berkata:
دعا لي رسول الله صلي الله عليه وسلم بخير كثير, وقال: نِعْمَ تُرجمان القرآن أنت
Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakanku dengan banyak kebaikan, dan beliau berkata: “Sebaik-baik penerjemah atau penafsir Al-Qur’an adalah kau.” (Al-Ashbahani, Hilyatul Auliyā’, juz I, halaman 317).
Sumber: https://islam.nu.or.id/