[ PAHAMI ] Akad Jual Beli Kredit Dalam Islam

Akad Jual Beli Kredit Dalam Islam

Akad Jual Beli Kredit Dalam Islam

[PAHAMI] Akad Jual Beli Kredit Dalam Islam – Catatanmoeslimah.Com – Dipahami bahwa ada empat komponen akad, yaitu: maqashid, mabani, alfazh, dan ma’ani. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshud, yang artinya disengaja.

Mabani adalah bentuk jamak dari mabni, yang artinya rangkaian susunan kalimat sehingga dapat dipahami dan menunjukkan hukum atau manfaat tertentu. Alfazh adalah bentuk jamak dari lafazh, yaitu segala sesuatu yang diucapkan secara lisan. Sedangkan ma’ani adalah jamak dari ma’na, yang berarti pengertian itu sendiri.

Dari segi makna, dari keempat komponen tersebut, secara berurutan hubungan dari yang paling khusus sampai yang paling umum adalah maqashid, mabani, ma’ani dan alfazh. Jadi, alphazh menempati hal yang memiliki arti paling umum. Sedangkan maqashid menempati makna yang paling istimewa dibandingkan ketiga lainnya. Oleh karena itu, dalam konteks akad, maksud pelaku adalah sesuatu yang cenderung dipertimbangkan oleh banyak pihak, sehingga dikeluarkan pernyataan:

العبرة في العقود بالمقاصد والمباني لا بالألفاظ والمعاني

Artinya: “Ungkapan dalam akad adalah berdasar kesengajaan dan bangunannya, bukan berdasarkan yang terucap dan makna yang ditunjukkannya.”

Kalau dipikir-pikir, konteks ini berlaku ketika kondisi masyarakat dan kontrak-kontrak yang berlaku di dalamnya terdiri dari orang-orang yang saling percaya. Dua pihak yang sudah akrab dengan hubungan atau transaksi bisnis akan dengan mudah menerima hal ini.

Misalnya seseorang pergi ke toko dan tiba-tiba mengambil pisang goreng. Setelah merasa cukup, ia menyerahkan sejumlah uang kepada penjual, sesuai dengan jumlah pisang goreng yang diambilnya. Padahal pada saat pengambilan, pihak yang mengambil pisang goreng tidak mengatakan bahwa dia membeli pisang goreng dan tidak makan gratis dari penjual lapak, karena harga diberikan setelah makan, menandakan itu adalah jual beli. perjanjian.

Di sini unsur kesengajaan berlaku bagi pembeli. Sedangkan bagi pemilik toko, unsur kesengajaan terletak pada perbuatannya meletakkan pisang di depan dagangannya dengan tidak bermaksud untuk dinikmati secara cuma-cuma oleh orang yang mampir ke tokonya, melainkan untuk memudahkan pembeli mengambilnya. . . tanpa repot-repot pemilik toko untuk mengambilnya satu per satu. . Model transaksi semacam ini kita pahami dari pembahasan bai’ mu’athah.

Dalam kasus modern dimana banyak terjadi hubungan dan relasi antara dua pihak atau lebih, yang terkadang bukan orang yang dikenal oleh penjual, atau bahkan orang yang sama sekali asing bagi penjual, maka diperlukan upaya untuk menjaga dari aspek kerugian yang mungkin terjadi pada pihak penjual. penjual. penjual. menderita. Salah satu cara untuk mempertahankannya adalah siapa pun yang datang kepadanya dan ingin membeli sesuatu, dia harus mengatakan bahwa dia membelinya.

Pernyataan pembelian ini digambarkan sebagai pernyataan yang dibuat secara lisan, atau melalui organ lain yang menunjukkan tanda-tanda jual beli. Salah satu contoh praktisnya, misalnya, adalah mobil yang dipajang di showroom. Tujuan dari tampilan ini adalah untuk memudahkan pembeli melihat dan mengetahui ciri fisik mobil yang ingin dibelinya dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa dicoba dan dipinjam begitu saja.

Dalam perjanjian kredit bank, umumnya yang dimaksud dengan kredit adalah jual beli dengan harga yang terlambat menyerahkan harga. Menariknya, gambaran seperti ini jarang dipahami oleh nasabah, namun mereka justru menganggap yang namanya kredit adalah utang. Padahal pengantar akad ini selalu mencantumkan barang-barang yang dijadikan jaminan.

Ketika terjadi keterlambatan pembayaran, maka barang jaminan diambil oleh pihak bank, bahkan banyak pihak yang beranggapan bahwa pihak bank telah menyita aset nasabah. Kalau mau kita telaah lagi, tujuan diambilnya bank ini adalah untuk melelang barang-barang yang dijadikan agunan, yang pada hakekatnya masih menjadi milik bank dan nasabah. Hasil lelang tersebut kemudian digunakan untuk menutupi tanggung jawab nasabah kepada bank, dengan sisa hasil lelang dikembalikan kepada nasabah.

Sekilas, apa yang terjadi di atas menunjukkan bahwa ada mekanisme yang salah dan ini terjadi dalam hubungan nasabah dengan bank. Kesalahan mekanisme ini membutuhkan solusi. Yang pasti penyelesaian yang diharapkan adalah penyelesaian yang berdasar dan mempunyai landasan hukum. Dasar hukum yang digunakan oleh bank adalah:

  1. Akadyang sedang berlangsung adalah perjanjian jual beli kredit. Adanya jaminan yang dibawa nasabah kembali karena nasabah membelinya kembali dari bank secara kredit. Apa buktinya? Tidak lain adalah
  2. Sertifikat Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang dimiliki oleh Bank.

Jadi, aturan yang berlaku bagi bank dalam hal ini adalah:

العبرة في العقود بالألفاظ والمعاني لا بالمقاصد والمباني

Artinya: “Ungkapan pernyataan akad adalah berdasar lafadh dan maknanya, bukan berdasar tujuan dan bangunannya.”

Pengucapan dengan jelas menunjukkan istilah kredit yang hanya dapat dipahami dalam kasus jual beli. Jadi, meskipun unsur kesengajaan yang muncul dari pihak nasabah adalah mencari hutang, dan selama masa negosiasi tidak ada pengumuman jual beli, namun yang tetap menang adalah label yang disandang bank sebagai akad “kredit”.

Ibarat terakhir yang menyatakan bahwa ungkapan dalam akad harus berdasar lafal dan makna lahiriah, bukan berdasar tujuan dari nasabah atau pihak yang memiliki hajat mencari utangan, bisa berlaku pada beberapa kondisi, antara lain:

  1. Akad yang terjadi melibatkan item besar.
  2. Ada kecenderungan manusia untuk mencari kesenangan pribadi tanpa merugikan orang lain.
  3. Karena ungkapan batin tidak dapat diketahui secara lahiriah, maka diperlukan landasan lahiriah yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
  4. Karena bank merupakan lembaga publik dan rawan sengketa, maka bank wajib memiliki bukti berupa akad fisik, seperti akad shighat yang keberadaannya dapat dinyatakan dalam nota hitam putih.

By looking at the pattern of this relationship, it can be concluded that there has been a misunderstanding in understanding a number of contracts, especially those related to banks.​​​ Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber: https://islam.nu.or.id/